Mendobrak Keterbatasan: Anak Panti Asuhan Jadi Direktur, Anak Jalanan Kuliah di Harvard
Oleh
Kategori Program Panti Kebutuhan
“Bisa jadi apa sih anak panti asuhan?”
Pernahkan sahabat Kapiler, atau orang di sekitar, berpikiran seperti itu? Kali ini Pili punya cerita yang dilansir dari Kompas.com, tentang seorang mantan penghuni panti asuhan bernama Akhmad Mundholin yang kini menjadi direktur utama di BPR (Bank Perkreditan Rakyat) BKK di Kendal, Jawa Tengah. Bapak Mundholin adalah seorang anak yatim sejak kecil, ayahnya meninggal saat usianya baru 2 tahun. Ketika Bapak Mundholin hendak masuk SMP, ibunya tidak memiliki biaya untuknya meneruskan sekolah. Salah seorang tetangga yang merupakan pengurus panti asuhan lalu menawarkan Bapak Mundholin untuk masuk panti agar sekolahnya bisa dibiayai.
Akhirnya Bapak Mundholin pun masuk ke panti. Di panti asuhan beliau diajarkan untuk hidup mandiri; cuci baju sendiri, merapikan kamar sendiri, dan lain-lain. Selain itu jarak panti dan sekolah cukup jauh, sekitar 7 km. Bapak Mundholin berjalan kaki dari panti sekolah, kecuali jika ada temannya yang bisa untuk nebeng. Ketika masuk SMA, Bapak Mundholin sempat merasa malu karena sering direndahkan oleh teman-teman sekolah karena berstatus anak panti asuhan. Namun, dengan dorongan semangat dari pengurus panti, beliau belajar dengan rajin hingga berhasil membuat anak-anak yang meremehkannya terdiam dengan prestasi yang diperolehnya. Bahkan karena berprestasi, beliau pernah ditunjuk untuk menjadi ketua kelas.
Masa kuliah dijalani sambil bekerja sebagai petugas desa di BPR. Kegigihannya dalam bekerja membuat Pak Mundholin dipercaya untuk terus naik pangkat di pekerjaannya hingga ketika lulus kuliah, beliau diangkat menjadi wakil direktur BPR BKK Kendal. Kini Bapak Mundholin sudah dua periode menjabat sebagai direktur utama. Itulah kisah Akhmad Mudholin, seorang “lulusan” panti asuhan.
Cerita yang tak kalah menarik datang dari negeri yang banyak menjadi tujuan orang mengadu mimpi, Amerika Serikat. Sebuah novel memoar berjudul Breaking Night karya Liz Murray, berisi kisah perjalanan hidupnya. Siapa Liz Murray dan mengapa kisah hidupnya dibukukan? Sebabnya satu hal sederhana. Liz Murray mendapatkan beasiswa The New York Times untuk kuliah di universitas Harvard, salah satu kampus paling favorit di Amerika. Mengapa itu istimewa? Liz Murray berjuang untuk mendapatkan beasiswa tersebut dari bersekolah di sekolah khusus anak tertinggal yang dijuluki “Failure Academy” (Sekolah Kegagalan) dan juga kenyataan bahwa ketika bersekolah SMA Liz tidak punya rumah.
Liz menjadi tunawisma sejak ia kabur dari rumah orangtuanya yang pecandu narkoba. Sepanjang SMA Liz berpindah-pindah tidur di rumah teman, gerbong kereta bawah tanah, atau atap semen apartemen yang dinaiki lewat tangga darurat. Liz Murray dan Akhmad Mundholin sepintas memiliki kisah yang berbeda. Namun ada hal mirip yang mendorong mereka untuk maju mengubah hidup mereka. Orang-orang yang membuat mereka merasa dihargai sebagai manusia.
Liz pernah masuk ke rumah penampungan yang dikelola dinas sosial, tapi ia tidak betah berada di sana. Dirinya malah memilih hidup menggelandang dibandingkan kembali masuk ke rumah penampungan itu. Mengapa? Karena petugas di sana mengurusnya hanya karena tugas. Liz merasa diperlakukan seperti robot. Hanya dianggap sebagai satu lagi anak pembawa masalah yang harus mereka urusi. Liz akhirnya percaya bahwa hidupnya bisa berubah lebih baik setelah mendapatkan guru-guru di Prep, sebutannya untuk SMA-nya, yang memperlakukannya dengan hormat, seperti layaknya murid sekolah biasa.
Ditambah kebaikan hati relawan di The Door, tempat makan gratis untuk remaja tunawisma, yang menjadi tempatnya mencari makan, penyelamat ketika dirinya begitu kelaparan hingga tidak dapat konsentrasi pada tugas sekolah. Seperti halnya Pak Mundholin mengenang pengurus panti asuhan tempat beliau dulu bernaung sebagai orang-orang yang membantunya memperoleh peluang hidup yang lebih baik melalui pengasuhan yang layak di panti asuhan.
Bapak Mundholin kini seringkali berkunjung ke panti asuhan untuk memotivasi anak panti bahwa anak panti asuhan bisa sukses dan juga punya hak hidup layak seperti anak lainnya. Liz Murray kini mengelola bisnis sendiri dan merupakan salah satu pendiri Broome Street Academy di kota New York, sebuah sekolah SMA gratis untuk anak tunawisma.
Melalui Kapiler Indonesia, sahabat juga bisa membantu anak-anak lain yang mimpinya terhambat keadaan sosial ekonomi dengan mendukung program Beasiswa Anak Hebat dan Bekal Bulanan Berdaya. Dukung terus Kapiler memberdayakan anak panti asuhan di seluruh Indonesia, ya, Sahabat!
Sumber:
Murray, Liz. 2010. Breaking Night. Jakarta: Penerbit Bentang Pustaka.