Kamu Bisa Sekolah, tapi Aku..?
Oleh
Kategori Program Panti
Ketika kita melihat anak-anak pengamen jalanan yang berkeliaran di jalan pada sore hari, masih dengan seragam sekolah melekat di badan, apa yang terpikirkan? Kasihan? Namun pernahkah terbayang bagaimana mereka menghabiskan hari, dari mulai bangun pagi hingga waktunya tidur lagi?
Banyak faktor yang berperan dalam ketidakberhasilan seorang anak secara akademik. Guru yang buruk, beban pelajaran yang terlalu banyak, ketidakmauan dari si anak sendiri untuk belajar. Namun satu hal yang sulit diubah adalah: beban kemiskinan. Kemiskinan dapat berlangsung dari generasi ke generasi dan menjadi norma yang sekedar diterima, lingkaran yang sulit diputus.
“Pendidikan berperan penting dalam mematahkan kekangan tersebut, namun sebagian besar anak-anak ini tidak akan pernah dapat kesempatan itu.”
Derrick Meador, jurnalis
Dilansir dari UNICEF, terdapat 46 juta remaja di Indonesia, hampir 25% yang berusia 15-19 tahun putus sekolah, tidak memiliki pekerjaan tetap atau ikut pelatihan kerja. Sementara 4,4 juta anak dan remaja usia 7-18 tahun masih tidak bersekolah. Apa yang dapat terjadi ketika mereka diberi kesempatan mengenyam pendidikan, sekolah berkualitas yang terjangkau oleh mereka yang kesulitan ekonomi?
Alternatif Metode Pendidikan: Sekolah KIPP (Knowledge is Power Programme)
Sekolah negeri yang diperuntukkan anak-anak dari keluarga yang dicengkeram kemiskinan di Amerika Serikat ini mengusung kerja keras dan kebersamaan sebagai salah satu pondasi utama pendidikan mereka. Meskipun sebagian besar murid di sekolah KIPP berasal dari etnis minoritas dengan ekonomi keluarga menengah ke bawah, mereka berhasil melampaui pencapaian akademik teman-temannya di sekolah publik lain. Bermula dari 1 SMP di tahun 1994, sekolah KIPP berkembang menjadi 242 sekolah dari jenjang SD-SMA.
Murid-murid KIPP mengikuti jadwal yang ketat: sekolah mulai pukul 7:30 pagi dan selesai pukul 5:00 sore. Belum ditambah pekerjaan rumah. Anak-anak sekolah KIPP juga masuk sekolah selama tiga pekan di musim panas sementara anak-anak sekolah lain libur. Meskipun ada saja pihak yang menentang metode ini, namun standar tinggi yang ditetapkan KIPP mampu membawa murid-muridnya mendapatkan prestasi yang sebanding dengan pengorbanan mereka. Tahun 2009, 57% anak di tingkat 5 SD memiliki kemampuan membaca di bawah standar. Lebih besar lagi untuk matematika, mencapai 67%. Namun pada tahun 2013, di kelas 8, sebanyak 93% siswa KIPP mampu melebihi kemampuan membaca rekan mereka dari sekolah publik lain, dan 89% mengungguli mereka dalam matematika.
Jadwal padat sekolah ini bukan tanpa alasan. Seringkali, kesempatan anak-anak ini belajar hanya ada di sekolah. Di rumah mereka sibuk dengan tugas-tugas lain, mengasuh adik atau membantu orangtua bekerja serabutan. Bahkan dengan biaya sekolah yang gratis, anak-anak dari keluarga kurang mampu masih kesulitan dengan biaya transportasi dari rumah ke sekolah dan peralatan penunjang belajar.
KIPP memotong siklus itu dengan memperpanjang jam belajar di sekolah. Murid-murid yang kesulitan dalam pelajaran diuntungkan dalam hal ini karena mereka mendapat lebih banyak waktu untuk materi pelajaran yang kurang dikuasai. Orangtua juga harus kooperatif dengan guru sekolah.
Namun seperti kata guru dan penulis Lou-Anne Johnson dalam karyanya Teaching Outside the Box,
“Jangan khawatir mengenai mengajarkan segala hal; cukup ajarkan konsep dan keterampilan yang paling penting, dan ajari murid-murid bagaimana cara belajar agar mereka bisa bergerak maju sendiri.”
Banyak hal yang mungkin tidak bisa diapa-apakan, seperti sistem pembiayaan sekolah yang tidak adil. Namun, bukan berarti kita harus diam saja. Kebaikan, sekecil apapun, tetap sebuah kebaikan. Salah satunya dengan mendukung adik panti asuhan menggapai pendidikan melalui program Beasiswa Anak Hebat Kapiler Indonesia.
Khonza Hanifa/Kapilerindonesia